Fosil Afrasia: Bukti Tambahan, Primata Antropoid Paling Awal Berasal dari Asia, Bukan Afrika



"Afrasia tidak saja membantu menutup kasus bahwa antropoid pertama kali berevolusi di Asia, namun juga menunjukkan tentang kapan tepatnya nenek moyang antropoid kita pertama kali melakukan perjalanan ke Afrika, di mana mereka terus berevolusi menjadi kera dan manusia."

Sebuah tim peneliti internasional telah mengumumkan penemuan Afrasia djijidae, fosil primata asal Myanmar yang menyingkap langkah penting tentang evolusi antropoid awal – kelompok yang meliputi manusia, kera, dan monyet. Afrasia yang hidup di masa 37 juta tahun lalu ini mirip dengan antropoid lainnya, Afrotarsius libycus, yang hidup di zaman yang sama dan baru-baru ini di Gurun Sahara Libya. Kemiripan antara Afrasia dan Afrotarsius menunjukkan bahwa antropoid awal telah menduduki Afrika hanya sesaat sebelum kedua spesies tersebut hidup. Pendudukan antropoid awal di Afrika merupakan langkah penting dalam mengungkap evolusi primata dan manusia, karena mengatur panggung bagi evolusi selanjutnya ke arah kera dan manusia modern di sana.

Makalah ilmiah yang menjelaskan penemuan ini muncul dalam Proceedings of the National Academy of Sciences, tertanggal 4 Juni.

Selama beberapa dekade, para ilmuwan menduga bahwa evolusi antropoid berakar di Afrika. Namun, penemuan fosil terbaru di Cina, Myanmar, dan negara-negara Asia lainnya dengan cepat mengubah pendapat ilmiah tentang di mana kelompok nenek moyang manusia pertama kali berevolusi. Afrasia adalah yang terbaru dalam serangkaian penemuan fosil yang menjungkirbalikkan konsep Afrika sebagai titik awal evolusi primata antropoid.


Gambar ini menunjukkan dua fosil geraham atas. Geraham atas Afrasia dari Myanmar di sebelah kanan, dan geraham atas Afrotarsius dari Libya di sebelah kiri. Peta pada gambar menunjukkan geografi purba dari bagian dunia ini di masa sekitar 38 juta tahun yang lalu. Model 3D ini adalah rekonstruksi Afrotarsius berdasarkan rekaan. (Kredit: Mark Klingler/Museum Sejarah Alam Carnegie)



“Afrasia tidak saja membantu menutup kasus bahwa antropoid pertama kali berevolusi di Asia, namun juga menunjukkan tentang kapan tepatnya nenek moyang antropoid kita pertama kali melakukan perjalanan ke Afrika, di mana mereka terus berevolusi menjadi kera dan manusia,” kata Chris Beard, ahli paleontologi dari Museum Sejarah Alam Carnegie dan menjadi salah satu anggota tim riset dalam penemuan yang juga melibatkan para peneliti dari Myanmar, Thailand, dan Perancis ini. Beard dikenal dalam pekerjaannya yang luas dalam mengungkap evolusi dan asal usul primata antropoid. “Afrasia adalah ‘pengubah-permainan’ karena untuk pertama kalinya memberi sinyal tentang kapan nenek moyang kita menduduki Afrika. Jika migrasi purba ini tidak pernah terjadi, kita tak akan pernah berada di sini untuk membicarakan tentang hal ini.”

Waktu adalah segalanya

Para ahli paleontologi sebelumnya telah membuat pemisahan pada bagaimana dan kapan tepatnya antropoid Asia awal melakukan perjalanan dari Asia ke Afrika. Perjalanan tersebut pastilah tidak mudah, karena Laut Tethys, yang kini adalah Laut Mediterania, memisahkan Afrika dari Eurasia pada masa itu. Meskipun tidak memecahkan misteri jalur perjalanan mereka dalam mencapai Afrika, namun penemuan Afrasia ini menunjukkan bahwa peristiwa pendudukan Afrika terjadi relatif baru, hanya sesaat sebelum fosil-fosil antropoid pertama ditemukan dalam catatan fosil Afrika.

Afrasia Myanmar yang hidup di masa sekitar 37 juta tahun yang lalu ini secara mengejutkan memiliki gigi yang sangat mirip dengan Afrotarsius libycus, primata Afrika Utara yang hidup di sekitar masa yang sama. Empat gigi Afrasia ditemukan setelah upaya memilah berton-ton sedimen selama enam tahun di dekat Nyaungpinle di pusat Myanmar. Lokalitas ini terjadi pada pertengahan Formasi Pondaung Eosen, di mana tim peneliti yang sama sebelumnya pernah menemukan Ganlea megacanina, fosil ‘berpengaruh’ yang dideskripsikan pada tahun 2009 dan membantu memperkuat keberadaan primata anthropoid awal di Asia.

Rincian bentuk gigi pada fosil Afrasia Asia dan Afrotarsius Afrika Utara menunjukkan bahwa kedua spesies ini mungkin pemakan serangga. Ukuran gigi mereka menunjukkan bobot badan yang hanya sekitar 3,5 ons (100 g), kira-kira seukuran tarsius modern.

Karena struktur gigi mamalia sedemikian rumit, para ahli paleontologi sering menggunakannya sebagai sidik jari untuk merekonstruksi bagaimana spesies-spesies yang sudah punah terkait dengan satu sama lain dan dengan kerabat modern mereka. Kesamaan ini memberikan bukti kuat bahwa sepupu Asia Afrasia telah menduduki Afrika Utara hanya sesaat sebelum munculnya Afrotarsius dalam catatan fosil Afrika. Jika antropoid Asia sudah tiba di Afrika Utara sebelumnya, maka perlu waktu untuk lebih banyak perbedaan yang berevolusi di antara Afrasia dan Afrotarsius. Kemiripan dalam hal usia dan anatomi di antara kedua spesies ini menjadikan Afrasia sebagai batu ujian dalam upaya melakukan penanggalan pada penyebaran primata anthropoid dari Asia ke Afrika.

“Selama bertahun-tahun kami menduga catatan fosil Afrika itu tidaklah bagus,” kata Profesor Jean-Jacques Jaeger dari Universitas Poitiers di Perancis, pemimpin tim peneliti dan asosiasi riset Museum Carnegie. “Fakta bahwa antropoid-antropoid yang serupa telah hidup pada masa yang sama di Myanmar dan Libya menunjukkan bahwa kesenjangan dalam evolusi antropoid awal di Afrika sebenarnya nyata. Antropoid tidak hadir di Afrika sebelum akhirnya kami menemukan fosil mereka di Libya.”

Implikasi bagi penelitian masa depan

Pencarian asal-usul antropoid awal – beserta perkembangannya, nenek moyang manusia awal – merupakan titik pusat bagi paleoantropologi modern. Penemuan Afrasia menunjukkan bahwa salah satu keturunan antropoid awal telah menduduki Afrika sekitar 37-38 juta tahun yang lalu, namun keragaman antropoid awal dari situs Libya, tempat ditemukannya Afrotarsius libycus, memberikan petunjuk bahwa gambaran yang sesungguhnya ternyata lebih rumit. Fosil antropoid-antropoid lain di Libya ini mungkin merupakan keturunan dari salah satu atau lebih koloni tambahan antropoid Asia, karena mereka tampaknya tidak secara khusus berkerabat dengan Afrasia dan Afrotarsius. Bukti fosil tentang pemisahan evolusi – ketika spesies terbagi untuk membuat garis keturunan baru – merupakan data penting bagi para peneliti dalam hal evolusi. Penemuan terobosan tentang kekerabatan antara Afrasia Asia dan Afrotarsius Afrika Utara ini merupakan patokan penting dalam menentukan penanggalan pada pendudukan antropoid Asia di Afrika.

“Penelitian terobosan seperti ini menggarisbawahi vitalitas pada museum-museum sejarah alam modern,” kata Sam Taylor, direktur Museum Sejarah Alam Carnegie. “Penelitian seperti ini hanya bisa dipertahankan dengan adanya koleksi-koleksi yang tak tergantikan, keahlian kuratorial, dan infrastruktur ilmiah yang bisa disediakan oleh museum-museum sejarah alam. Pada saat yang sama, ilmu pengetahuan seperti ini merevitalisasi program-program pendidikan museum kami serta menggerakkan misinya.”

“Merekontruksi peristiwa-peristiwa seperti pendudukan antropoid awal di Afrika bagaikan memecahkan sebuah berkas kasus yang sangat ‘dingin’,” kata Beard. “Afrasia mungkin bukan antropoid yang menjadi pelakunya, namun sudah pasti masuk dalam daftar singkat kami sebagai tersangka utama.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...