Di negeri ini sulit sekali ditemukan politisi yang memiliki altruisme atau rasa kemanusiaan yang tinggi dan ajek. Sebagian politisi DPR yang baru-baru ini gegabah menyatakan tragedi banjir lumpur panas Porong sebagai “peristiwa alam” yang bukan karena kesalahan manusia adalah contoh telak bentangan politisi yang miskin altruisme.
Altruisme yang tumpul adalah masalah kejiwaan individual dan psikososial. Karena itu, pembicaraan tentang altruisme yang tumpul itu tidak berfokus pada semata penyesalan atas pernyataan dan kesimpulan politisi DPR yang bertentangan dengan hasil penelitian dan pendapat ahli independen (misalnya, UN Disaster Assistance and Coordination Mission Dr Rudi Rubiandini dan tim Profesor Richard Davies) bahwa banjir lumpur di Porong terjadi karena kesalahan manusia.
Justru fokus pembicaraan kejiwaan individual dan psikososial diwakili pertanyaan mendasar: mengapa politisi miskin altruisme memiliki kesempatan berkiprah di negeri ini?
Pada perspektif kejiwaan individual, menipisnya altruisme (kemampuan untuk merasakan penderitaan pihak lain dan kesediaan untuk memperhatikan, memedulikan, dan membantu pihak lain yang menderita) dapat dipahami sebagai fenomena yang terjadi karena si individu mengalami nyeri jiwani yang menyerap seluruh perhatian dan energinya.
Pengalaman nyeri jiwani itu menghabiskan seluruh perhatian dan energi individu. Akibatnya, dia tidak lagi memiliki tenaga yang cukup untuk merasakan penderitaan, memperhatikan, memedulikan, dan membantu pihak lain. Kandungan pengalaman nyeri jiwani itu memang bisa bermacam-macam, namun acapkali pengalaman nyeri jiwani yang paling menipiskan altruisme atau rasa kemanusiaan berakar dalam keterpakuan individu untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri.
Keterpakuan itu menyerap semua perhatian dan energi untuk semata melayani diri sendiri. Dengan demikian, tidak ada lagi perhatian dan energi yang bisa dicurahkan untuk merasakan penderitaan, memperhatikan, memedulikan, dan membantu pihak lain.
Pada perspektif psikososial, kehadiran politisi yang miskin altruisme dapat dimengerti sebagai proses psikopolitik tidak sehat yang melAndasi seleksi dan perekrutan politisi itu. Proses-proses psikopolitik itu di negeri ini sering diresapi oleh irasionalitas dan subjektivitas yang tinggi, yang mengabaikan hamparan data objektif tentang apa saja yang selama ini pernah diperbuat sang calon politikus untuk rakyat.
Seseorang lolos seleksi dan dapat direkrut untuk menjadi politikus bukan karena data objektif yang menegaskan bahwa orang itu telah bertahun-tahun melakukan berbagai hal nyata dan bermakna untuk membantu rakyat yang menderita atau meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kelolosan dalam seleksi dan keberhasilan dalam rekrutmen lebih disebabkan hal-hal irasional dan subjektif. Misalnya, sang calon politikus menarik dan memesona, dia menebar sekadar uang beberapa puluh ribu rupiah atau kaus oblong sebelum pemilihan, bahkan bisa pula hanya karena sang calon politikus pintar menyanyi dan populer.
Proses-proses psikopolitik yang irasional dan subjektif itu makin memungkinkan calon-calon politisi yang mengalami nyeri jiwani lolos dalam seleksi dan sukses dalam rekrutmen. Karena itu, kemudian praktik politik yang berakar dalam proses-proses psikopolitik seperti itu mengejawantah sebagai perjuangan pemenuhan kebutuhan sang politikus sendiri dan tidak terwujud sebagai reka-upaya sah untuk menyejahterakan rakyat.
Rasionalitas dan objektivitas proses psikopolitik di negeri ini memang masih sangat kurang. Itu berbeda dengan yang sedang kita lihat di Amerika Serikat. Di sana rakyat banyak berpihak kepada Barack Obama karena Obama adalah politikus yang rekam jejak objektifnya memang menegaskan bahwa dia pernah banyak berbuat untuk rakyat. Misalnya, memelopori pembangunan pusat-pusat pendidikan untuk remaja, bahkan pernah berbuat nyata memperbaiki saluran air yang buntu, dan menentang kebijakan yang memperbolehkan pemakaian atap asbes karena bahan itu mengganggu kesehatan rakyat.
Terus Terjadi
Sepak terjang politisi yang miskin altruisme masih akan terus terjadi di negeri ini selama proses psikopolitik yang menyeleksi dan merekrut politisi berlangsung irasional dan subjektif. Kekecewaan rakyat atas sepak terjang para politisi yang miskin altruisme niscaya dijadikan pengalaman belajar bagi rakyat sendiri untuk meninggalkan proses-proses psikopolitik yang irasional dan subjektif.
Sejak kini dan ke depan, rakyat perlu berperan nyata menumbuhkembangkan proses-proses psikopolitik yang rasional dan objektif, terutama dengan mewujudkan tindakan nyata. Misalnya, memilih politisi yang menyandang data objektif tentang kiprahnya yang altruistik dan tidak memilih politisi yang terbukti pada masa lalu tidak berbuat apa-apa untuk membantu dan menyejahterakan rakyat.
Altruisme yang tumpul adalah masalah kejiwaan individual dan psikososial. Karena itu, pembicaraan tentang altruisme yang tumpul itu tidak berfokus pada semata penyesalan atas pernyataan dan kesimpulan politisi DPR yang bertentangan dengan hasil penelitian dan pendapat ahli independen (misalnya, UN Disaster Assistance and Coordination Mission Dr Rudi Rubiandini dan tim Profesor Richard Davies) bahwa banjir lumpur di Porong terjadi karena kesalahan manusia.
Justru fokus pembicaraan kejiwaan individual dan psikososial diwakili pertanyaan mendasar: mengapa politisi miskin altruisme memiliki kesempatan berkiprah di negeri ini?
Pada perspektif kejiwaan individual, menipisnya altruisme (kemampuan untuk merasakan penderitaan pihak lain dan kesediaan untuk memperhatikan, memedulikan, dan membantu pihak lain yang menderita) dapat dipahami sebagai fenomena yang terjadi karena si individu mengalami nyeri jiwani yang menyerap seluruh perhatian dan energinya.
Pengalaman nyeri jiwani itu menghabiskan seluruh perhatian dan energi individu. Akibatnya, dia tidak lagi memiliki tenaga yang cukup untuk merasakan penderitaan, memperhatikan, memedulikan, dan membantu pihak lain. Kandungan pengalaman nyeri jiwani itu memang bisa bermacam-macam, namun acapkali pengalaman nyeri jiwani yang paling menipiskan altruisme atau rasa kemanusiaan berakar dalam keterpakuan individu untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri.
Keterpakuan itu menyerap semua perhatian dan energi untuk semata melayani diri sendiri. Dengan demikian, tidak ada lagi perhatian dan energi yang bisa dicurahkan untuk merasakan penderitaan, memperhatikan, memedulikan, dan membantu pihak lain.
Pada perspektif psikososial, kehadiran politisi yang miskin altruisme dapat dimengerti sebagai proses psikopolitik tidak sehat yang melAndasi seleksi dan perekrutan politisi itu. Proses-proses psikopolitik itu di negeri ini sering diresapi oleh irasionalitas dan subjektivitas yang tinggi, yang mengabaikan hamparan data objektif tentang apa saja yang selama ini pernah diperbuat sang calon politikus untuk rakyat.
Seseorang lolos seleksi dan dapat direkrut untuk menjadi politikus bukan karena data objektif yang menegaskan bahwa orang itu telah bertahun-tahun melakukan berbagai hal nyata dan bermakna untuk membantu rakyat yang menderita atau meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kelolosan dalam seleksi dan keberhasilan dalam rekrutmen lebih disebabkan hal-hal irasional dan subjektif. Misalnya, sang calon politikus menarik dan memesona, dia menebar sekadar uang beberapa puluh ribu rupiah atau kaus oblong sebelum pemilihan, bahkan bisa pula hanya karena sang calon politikus pintar menyanyi dan populer.
Proses-proses psikopolitik yang irasional dan subjektif itu makin memungkinkan calon-calon politisi yang mengalami nyeri jiwani lolos dalam seleksi dan sukses dalam rekrutmen. Karena itu, kemudian praktik politik yang berakar dalam proses-proses psikopolitik seperti itu mengejawantah sebagai perjuangan pemenuhan kebutuhan sang politikus sendiri dan tidak terwujud sebagai reka-upaya sah untuk menyejahterakan rakyat.
Rasionalitas dan objektivitas proses psikopolitik di negeri ini memang masih sangat kurang. Itu berbeda dengan yang sedang kita lihat di Amerika Serikat. Di sana rakyat banyak berpihak kepada Barack Obama karena Obama adalah politikus yang rekam jejak objektifnya memang menegaskan bahwa dia pernah banyak berbuat untuk rakyat. Misalnya, memelopori pembangunan pusat-pusat pendidikan untuk remaja, bahkan pernah berbuat nyata memperbaiki saluran air yang buntu, dan menentang kebijakan yang memperbolehkan pemakaian atap asbes karena bahan itu mengganggu kesehatan rakyat.
Terus Terjadi
Sepak terjang politisi yang miskin altruisme masih akan terus terjadi di negeri ini selama proses psikopolitik yang menyeleksi dan merekrut politisi berlangsung irasional dan subjektif. Kekecewaan rakyat atas sepak terjang para politisi yang miskin altruisme niscaya dijadikan pengalaman belajar bagi rakyat sendiri untuk meninggalkan proses-proses psikopolitik yang irasional dan subjektif.
Sejak kini dan ke depan, rakyat perlu berperan nyata menumbuhkembangkan proses-proses psikopolitik yang rasional dan objektif, terutama dengan mewujudkan tindakan nyata. Misalnya, memilih politisi yang menyandang data objektif tentang kiprahnya yang altruistik dan tidak memilih politisi yang terbukti pada masa lalu tidak berbuat apa-apa untuk membantu dan menyejahterakan rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar